Lelaki kekar rambut disemir menyambut kami. Rambut jingga mencolok terlihat semrawut. Matanya merah, pertanda baru bangun dari rebahan. Selangkah kami mundur setapak. Terus terang kami agak ngeri berhadapan dengannya.
Namun don't judge the by the cover. Lelaki seperti preman itu ternyata sangat sopan. Budiman biasa orang memanggilnya. Kami tidak menyangka akan dipersilahkan masuk dengan sangat terhormat. Kami duduk dilantai keramik putih agak renggang. Semenit kemudian orang tua pemuda itu muncul. Pak Kurdi terlihat lesu. Dari raut muka beliau tersirat kepedihan mendalam.
Kemudian pak Kurdi bercerita perihal si Dwita putri ragilnya. Dwita yang masih bau kencur itu sudah lama belum pulang. Awalnya Dwita kekeuh pingin dibelikan motor matic injeksi. Tapi penghasilan orang tua dan kakaknya Budiman tidak cukup untuk memenuhi keinginannya.
Budiman sudah berusaha keras untuk mewujudkan keinginan sang adik Dwita. Hanya saja Budiman butuh waktu agak lama agar uang terkumpul. Maklum, pekerjaannya sebagai montir yang ikut bengkel orang tidak mendapat uang yang menetap.
Pak Kurdi menambahkan bahwa dari segi ekonomi sebenarnya beliau mampu mencukupi keluarga. Tetapi Dwita ingin lebih dari itu. Entah dapat inspirasi dari mana, Dwita pingin memenuhi gaya hidup layaknya bintang sinetron. Motor matic, smartphone kekinian dan tentu saja penampilan ala salon menjadi kebutuhan.
Akhirnya ia terseret ke dalam pergaulan yang susah untuk diceritakan.
Komentar