Tersebutlah di suatu jalan diantara hamparan sawah dan ladang jagung, ada seorang Kiai sedang melintas sendirian. Surban, gamis panjang putih dan berkalungkan sajadah menandakan kalau Kiai ini adalah orang mulia, berilmu dan menjalankan agama dengan taat. Beliau melewati jalan itu untuk memenuhi undangan sebagai penceramah di kampung sebelah.
Langkah demi langkah beliau tapaki sambil berzikir mengingat Allah. Hingga perjalannya tetiba terhenti. Kebetulan di tengah jalan, seekor anjing sedang 'nglemprak' atau terduduk sambil menjulurkan lidahnya.
Dengan hati-hati, Kiai melangkah pelan sambil mengangkat gamisnya tinggi-tinggi. Beliau khawatir gamisnya yang suci tersentuh anjing yang melintang di jalan. Dalam hati beliau bergumam:
'MasyaAllah, kenapa hewan najis ini menghalangi perjalananku. Dasar makhluk kotor, enyahlah dari jalan ini!'
Kemudian Kiai melangkah menjauhi anjing itu.
Namun, belum beberapa langkah Kiai mendengar sesuatu yang bicara:
'Aku mendengar kata hatimu Kiai! Aku memang makhluk najis. Tapi ketahuilah, najis ini bukan kehendakku. Aku memang anjing, tapi sebagai Ulama, apakah pantas Kiai menghinaku sebagai makhluk kotor?'
Kata anjing yang atas ijin Allah, tiba-tiba ia bisa berbicara.
'Dan kau mengangkat tinggi gamismu karena takut najis? sedangkan kalau iya terkena tubuhku, kau bisa membasuhnya 7 kali menurut sariat yang benar. Apakah kamu yakin kalau kamu ini orang suci? Jika kau merasa lebih mulia segingga kau mengangkat gamismu maka kau sama dengan aku. Ada najis dihatimu.
Kiai langsung terpaku. Beliau seolah membeku mendengar kata si anjing ini. 'Hai anjing maafkan sikapku ini. Kau benar. Tidak sepantasnya aku merendahkan makhluk lain termasuk juga dirimu. Maafkan atas khilaf dan salahku. '
Anjing tidak peduli dengan ucapan Kiai. Ia bangkit dan pergi menjauh sambil mengibaskan ekornya. Mungkin ia kecewa dengan tindakan Kiai itu.
Seketika Kiai menangis, beliau tertunduk malu 'ya Allâh, ternyata hamba tidak lebih suci dari seekor anjing. Mohon ampuni hambamu! ' sambil mengejar anjing yang beranjak pergi.
'Hai anjing maafkan aku atas sikapku tadi! Sebagai tanda maafku marilah ikut denganku. Aku akan memberimu makanan anjing yang layak.'
'Tidak Kiai, bagaimana nanti dengan jemaahmu jika melihatmu berjalan dengan seekor anjing?'
Anjing semakin jauh, menghilang masuk diantara sawah dan ladang jagung.
-----
Begitulah, setinggi apapun derajat manusia, tidak sepantasnya merendahkan orang lain. Meskipun secara fisik orang itu terlihat lebih rendah, kita tidak layak dan tidak boleh merendahkan mereka.
Iblis dilaknat bukan karena tidak menyembah Allah. Namun karena ia sombong merasa lebih tinggi dari manusia.
Terinspirasi dari kisah Abu Yazid Al Bustomi
Komentar