Salahkah jika kami yang juara?




Riuh tepuk tangan meramaikan aula sebuah kampus terkenal. Para juara Olympiade sains berdiri berjajar di atas podium. Satu persatu piala, tropy dan uang pembinaan dibagikan kepada para juara.

Ada yang beda pada kompetisi kali ini. Juara 1 yang maju ke tingkat nasional berasal dari Sekolah Swasta yang tidak pernah menjadi juara pada olympiade bidang studi ini. Sedangkan langganan juara 1 yaitu Sekolah Negeri terkenal se-propinsi meraih juara 2. Sekolah Negeri ini sudah bertahun-tahun menjadi juara 1 yang mewakili propinsi untuk maju ke tingkat nasional. Dan, agak mengagetkan ketika Sekolah Negeri yang favorit itu tidak bisa mewakili propinsi.

Pertarungan para finalis diselenggarakan di Universitas Favorit di Negeri ini. Ratusan peserta hadir dari segala penjuru negeri. Para pembimbing harap-harap cemas menunggu hasil perlombaan. Ketika masa penantian itu sedang berlangsung ada seorang pembimbing dari Sekolah Lain menyapa kami. Ia bertanya "Ibu dari Sekolah Negeri pelanggan Olympiade Sains ini ya? Maaf kok, beda dengan tahun lalu?" Kami menjawab "Bukan, kami bukan dari Sekolah Negeri, kami dari Sekolah Swasta. Kebetulan sekolah kami yang maju. Sekolah yang Anda maksud kemarin juara 2 tingkat propinsi. Akhirnya kami yang maju ke Nasional."

Di akhir percakapan itu, pembimbing dari Sekolah Lain itu bercerita bahwa pembimbing dari Sekolah Negeri langganan Olympiade ini selalu berambisi dan sangat gigih untuk juara 1. Namun, meskipun sudah berulang-ulang menjadi juara 1, pembimbing Sekolah Negeri yang terkenal ini tidak pernah sekalipun mendapatkan mendapatkan uang reward dari sekolahnya. Bahkan setiap kali mengantarkan anak didiknya untuk kejuaraan ini, ia harus merogoh saku untuk membiayai transportasinya. Satu-satunya yang sangat ia nantikan adalah Uang Penghargaan dari propinsi JIKA anak didiknya juara 1.

Guru pembimbing dari Sekolah Negeri ini sudah belasan tahun mengabdi di sekolah itu. Berkali-kali prestasi yang ia raih ternyata tidak mengubahnya menjadi PNS. Seorang guru honorer beranak 3 itu masih saja menjadi guru honorer yang tidak jelas statusnya dan jarang mendapat penghargaan yang layak. Bahkan, meskipun anak didiknya menjadi Juara Tingkat Nasionalpun ia tidak mendapat apa-apa. Anak didiknya yang juara mendapat uang puluhan juta, guru pembimbing tidak.

Cerita dari guru pembimbing Sekolah Lain itu bagai guruh yang menyambar kepala kami. Kami, sebagai Pembimbing di Sekolah Swasta sungguh tidak menyangka. Meskipun kami swasta, paling tidak penghargaan untuk pembimbing sangatlah tinggi. Apalagi jika anak didik kami juara 1, maka reward akan menjadi berlipat ganda. Jadi tidak hanya anak didik kami saja yang mendapatkan uang pembinaan, kami juga mendapatkan vakasi dari sekolah yang layak. Setelah tahu siapa pembimbing Sekolah Negeri itu, kami prihatin dan kami jadi merasa "bersalah" karena sudah mengambil "rejekinya".

Menjadi honorer di sekolah negeri bagai seribu kali "Umar Bakri". Bekerja giat dan kreatif tetapi penghargaan tidak ada, bahkan untuk tujangan sertifikasi yang sepantasnya ia dapatkan pun di "mustahil"-kan oleh keadaan dan peraturan. Kami salut pada dia (beliau) pembimbing haonorer di Sekolah Negeri itu. Salam hormat dan kagum kami kepadanya.



Komentar