Pada kala itu pengasuh pondok, kiai Marzuki mempunyai ladang tebu yang luas. Ladang tebu menghijau di sekeliling pondok pesantren sampai ke dusun-dusun.
Kebetulan, ada beberapa santri mendengar kalau tebu akan ditebang. Entah nanti sore atau besok pagi. Saat itu, seorang santri muda, Musthofa, memanggil teman-temannya. Ia bercerita tebu Kiai Marzuki akan ditebang. ’Kang, malam nanti kita berlima harus mengambil beberapa tebu sebelum dipanen. Gimana? Setuju? '
'Setuju! ' jawab santri lainnya serempak.
Tapi, ingat, ini rahasia jangan sampai bocor. Jangan sampai ada yang dengar.
Kalau nanti ada yang tahu, awas sampeyan. Ancam Mustofa.
......
Selang beberapa waktu, tetiba Kiai Marzuki memanggil Mustofa. ’Gus, mriki lé! ’
Nggih Kiai, dos pundi?
Keringat dingin dan badan gemetar melingkupi tubuh Mustofa. Santri muda ini salah tingkah. Baru saja bersiasat mau nyolong tebu pak Kiai, malah tiba-tiba dipanggil.
Kamu dan teman-temanmu doyan tebu? Kata Kiai Marzuki.
Bagai disambar petir, Mustofa semakin terbelalak. Ia terpaku tidak mampu berkata. Lalu ia mengangguk.
'Sekedap yo!' Kiai Marzuki masuk ke rumah sebentar lalu keluar dengan memanggul segulung besar tebu.
Mustofa seperti ingin pingsan saja. Jangan-jangan Kiai Marzuki tahu kalau Mustofa dan beberapa santri berencana mau mengambil tebu. Bagaimana bisa beliau tahu, sedangkan mencuri baru sekadar niat?
Begitulah, pengalaman ini mendidik para santri untuk tidak berbuat haram. Kiai Marzuki menyelamatkan santrinya dari niat kurang baik. Meskipun pada saat memberi tebu, siapapun tidak tahu apakah Kiai Marzuki mengetahui niat santrinya atau hanya kebetulan.
Cerita ini didaraskan oleh Kiai Mustofa Bisri saat berkunjung ke Lirboyo. Beliau mengenang pengalamannya saat masih nyantri di sana.
Komentar