Pagi yang murung menyambut Pak Karmijan di kebun pisangnya. Seperti dugaan sebelumnya, pisang porak poranda diserang segerombolan monyet. Monyet-monyet ini tidak memiliki rasa puas. Seolah mereka selalu kelaparan. Sehingga hampir separuh ladang pisang habis ludes dijarah.
Capek menghadapi hal itu, akhirnya pak Karmijan mencoba berdamai. Ia berinisiatif membujuk raja monyet untuk bermusyawarah.
Di hari yang seperti biasa, pak Karmijan menemui raja monyet untuk diajak bicara. 'Hai raja monyet kemarilah! Ada hal menarik yang harus dibicarakan.'
Namanya juga monyet, raja monyet cuek saja bertengger di dahan pisang. Lima, enam atau tujuh pisang dimasukan ke mulut raja monyet rakus itu.
Pak Karmijan memutar otak. Ia mencari cara bagaimana agar monyet ini turun. Supaya pak Karmijan dapat leluasa ngobrol dengannya. Seberkas ide muncul di benak pak Karmijan. Ia mengiming-imingi raja monyet dengan sebotol limun merah.
Raja monyet tertarik, ia pun turun. Kali ini raja monyet mau mendengar kata-kata pak Karmijan. 'Gini nyet, aku akan memberimu uang 100 juta agar kamu dapat mengadakan bibit pisang, membeli cangkul untuk anak buahmu dan membuka lahan di hutan. Dengan uang ini, kalau kalian membuka ladang sendiri, merawat pohon pisang dan membeli pupuk, kalian akan punya ladang sendiri, panen setiap hari dan kenyang semuanya. Kalian tidak perlu jauh-jauh ke sini hanya untuk mencuri pisangku.’
Monyet memerhatikan. Tapi dasar monyet, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Uang 100 juta yang menggiurkan, monyet tidka mau. Mereka lebih memilih pisang setandan daripada unag.
Penjelasan pak Karmijan panjang lebar tidak berarti apa-apa.
Percuma memberi gagasan pada orang yang tidak mau mendengar. Mereka diberi pilihan yang bagus malah memilih jalan yang buruk.
Komentar